Kamis, 01 September 2011

Muhammadiyah dan Konstruksi Gerakan Intelektual

Oleh: Salman Ahmad Ridwan·
“Kerja Intelektual adalah kerja seumur hidup”
(Ahmad Syafii Maarif)
Statement Buya Syafii Maarif sengaja telah saya kutip diawal tulisan ini karena munculnya gerakan intelektual dalam kehidupan masyarakat merupakan suatu prasyarat yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan peradaban manusia. dalam berbagai forum seminar dan berbagai tulisannya, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini sering sekali menyampaikan pesan-pesan intelektualisme. Baginya, penyebab dari mundurnya masyarakat Muslim saat ini adalah karena prasyarat intelektualisme dalam tubuh masyarakat muslim telah ditindas karena alasan agama yang difahami secara sempit dan salah, maupun karena alasan politik kekuasaan dalam upaya mengebiri kebebasan berfikir yang menjadi pilar utama bagi intelektualisme (Maarif, 2010).
Sampai saat ini, fenomena dalam upaya membangun suatu gerakan intelektualisme masih sangat jauh sekali dari harapan. Upaya untuk membentuk suatu masyarakat intelektual sering sekali menjadi sesuatu yang sangat menakutkan bagi kalangan pemikir keagamaan yang konservatif-fundamentalisme. Sering sekali fenomena penyingkiran terhadap kalangan kaum muda yang memiliki pemikiran progresif-liberatif disingkirkan melalui justifikasi klaim kebenaran yang bersifat teologis, statement seperti telah menyimpang dari akidah Islam, murtad, bahkan klaim kekufuran, bertubi-tubi diserangkan pada tubuh kalangan kaum muda. Padahal, sebenarnya saya pikir Muhammadiyah sangat menyadari bahwa majunya peradaban Islam dalam lembar sejarah tidak bisa dilepaskan dari peran para pemikir yang handal seperti Ibnu Ruysd, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan sebagainya. Lebih parahnya, tindakan untuk melakukan justifikasi klaim kebenaran itu berujung pada ketidakharmonisan antara kelompok muda dan kelompok tua dalam tubuh persyarikatan. Sehingga, jika kita melihat fenomena tersebut melalui kerangka berfikir etika welas asih Kiai Ahmad Dahlan, upaya kompetitif dengan cara yang baik (fastabiqul khairat) sama sekali tidak mencerminkan sebagai citra yang baik pula bagi warga Muhammadiyah pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Melalui pernyataan yang sederhana ini, cobalah kita merefleksikan ulang tentang ketauladanan yang tercermin pada pribadi Kiai Ahmad Dahlan sebagai faunding fathers Muhammadiyah. Apa sekiranya pelajaran penting yang dapat kita ambil dari sosok Kiai Ahmad Dahlan?
Kiai Ahmad Dahlan Dalam Gerakan Intelektualisme

Walau pun banyak para pemerhati yang giat mengamati sosok pribadi Kiai Dahlan dalam perjalanannya telah berpandangan bahwa, Kiai dahlan adalah sosok manusia amal (man of action). Namun dari berbagai pandangan tersebut, kita tidak bisa melepaskan pula bahwa perjalanan Kiai Dahlan dalam memperjuangkan Muhammadiyah bukan berarti meninggalkan praktik intelektualisme. Walau pun Kiai Dahlan tidak meninggalkan karya intelektual dari hasil  pemikirannya, pada saat Kiai Dahlan membaca tafsir Al-manar sebenarnya sudah menandakan kepribadian intelektual pada sosok Kiai Dahlan, sekali pun ia telah berhadapan dengan kuatnya otoritas keagamaan yang dipegang oleh para ulama konservatif  di zamannya. Hal ini tentu tidak mengherankan bagi kita bahwa Kiai Dahlan adalah sosok pribadi yang memiliki pemikiran jauh melampaui zamannya.
Di sisi lain, tentang pergaulannya yang intens dengan siapa pun. Seperti pergaulannya dengan tokoh-tokoh Budi Utomo yang memiliki latar belakang pendidikan modern, dengan para tokoh-tokoh Belanda, pastur Kristiani, bahkan tokoh Komunis seperti Muso dan Alimin, sebenarnya telah memicu peran Kiai Dahlan dalam membawa suatu terobosan pemikirannya dengan semangat kemajuannya. Kiai Dahlan tidak memilah-milah untuk bergabung dengan siapa pun, bahkan dari intensitas pergaulanya itu, peran Kiai Dahlan dalam membentuk suatu persyarikatan Muhammadiyah telah terwujudkan, tentunya itu pun berkat dorongan dari rekan-rekannya di Budi Utomo. Dari pengembaraannya yang sangat luas itulah, telah tercermin pada diri sosok Kiai Dahlan bahwa kepribadiaanya sangat menghargai sekali kegiatan-kegiatan untuk belajar dengan siapa pun.
Memang selama satu abad ini, Muhammadiyah telah menampakan keberhasilannya dalam bidang amaliyah seperti mendirikan lembaga pendidikan, lembaga kesehatan, panti asuhan anak yatim, lembaga amal zakat, panti jompo, adalah suatu kerja keras yang harus diapresiai secara baik oleh kita semua. Karena bagaimana pun, kerja nyata yang dilakukan oleh Muhammadiyah selama satu abad yang lalu merupakan suatu usaha kerja keras yang didorong semangat berorganisasi dalam bingkai iman yang mengental dalam upaya melebarkan sayap dakwah keMuhammadiyahannya.
Kendati pun demikian, di tengah kemunculan dengan adanya lembaga amal-usaha yang telah dikembangkan oleh Muhammadiyah, ternyata persoalan lain telah muncul dalam tubuh internal persyarikatan ini. Kemapanan yang terlalu berlebihan telah membawa Muhammadiyah pada suatu ruang dimana Muhammadiyah hanya sekedar melaksanakan program-program kerjanya yang bercorak instrumentalistik. Muhammadiyah telah terbawa pada sebuah diskursus social keagamaan yang selalu mendahulukan suatu hasil dan tujuan ketimbang mengahargai suatu nilai dalam prosesnya di saat menjalankan usaha untuk mencapai cita-citanya.Tentunya dalam hal ini kita tidak menyalahkan Muhammadiyah. Namun bagaimanapun juga, maju atau mundurnya persyarikatan ini, tergantung dari pengaruh orang-orang yang ada di dalamnya yang menjalankan organisasi ini.
Dari hal inilah, peran Muhammadiyah dalam melahirkan suatu masyarakat intelektual sangat penting sekali. Dengan munculnya para anak muda yang terus membawa membawa semangat intelektualisme dalam tubuh Muhammadiyah sebenarnya tidak perlu menjadi suatu kekhawatiran yang sangat berlebihan. Karena meledaknya pemikiran yang bercorak intelektual dari kalngan kaum muda akan mendorong secara terus-menerus persyarikatan ini pada suatu bentuk manifestasi gerakan tajdid yang sejak awal telah menjadi ciri khas dan karakter Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang terus bersemangat dalam membawa gagasan Islam yang berkemajuan.
Akhirnya, jika kaum tua di dalam tubuh Muhammadiyah dapat menerima bahkan mendukung kehadiran semangat anak-anak mudanya dalam meletakan fondasi intelektualisme yang serba baru, saya rasa Muhammadiyah tidak lagi akan menjadi suatu organisasi yang serba kaku ketika  berhadapan dengan berbagai persoalan yang terjadi dizaman yang serba kompleks ini. Namun, jika kaum tua masih saja tetap menghambat laju pemikiran yang lahir dari pemikiran dan karya kaum  muda dengan semangat intelektualnya, berarti dalam hal ini para kaum tua tidak ubahnya seperti para ulama konservatif yang telah memasung semangat tajdid yang dahulu telah dilakukan oleh Kiai Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah ketika masa awal. Oleh karenanya, statement “kerja intelektual adalah kerja seumur hidup” dari Buya Syafii Maarif perlu direnungkan kembali oleh para kaum tua yang selama ini selalu mengkhawatirkan munculnya pemikiran baru di tubuh Persyarikatan Muhammadiyah saat ini. Padahal,  Intelektualismelah yang memajukan suatu zaman ke arah yang mencerahkan. Wallahua’lam!


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Jhoy Coles Arts | Bloggerized by Pk IMM Uhamka - Fakultas Agama Islam | thanks to Allah