Rabu, 24 Agustus 2011

“Inikah Bangsamu, Bento. Inilah Aku, Seniman!”

Bento berdiri dan duduk. Berganti-ganti, berkali-kali. Hatinya agak risau, tapi berusaha ditekannya kerisauan itu dengan  sebuah siulan yang sumbang. Rambutnya yang kelabu pada usianya yang setengah abad lebih menambah semrawut keadaannya.
      Inilah pertama kali ia berjumpa dengan Mr. Beergo, setelah berpisah selama belasan tahun. Terakhir kali Bento berjumpa dengan Mr. Beergo di Ibukota republik sekitar tahun enam-puluhan. Ia tak ingat benar lagi tahunnya yang pasti. Waktu itu ia dan Beergo malah hanya sempat saling bertukar alamat. Beergo buru-buru meninggalkannya. Beergo jadi orang penting di ibukota republik saat itu, sedangkan Bento kebetulan saja dibawa nasib hingga menginjak kota yang selalu lebih megah dari kota-kota lainnya di penjuru tanah airnya. Ia masih ingat, Beergo mengatakan bahwa ia akan kembali ke negerinya di daratan Eropa sana. Maka Bento dengan sikap yang menandakan kekolotannya buru-buru meminta alamat Beergo di negeri yang jauh itu. Beergo memberikannya dan Bento juga memberikan alamat rumahnya di kota kelahirannya.
       “Saya tidak lama di ibukota ini. Saya juga segera kembali ke kota kita dahulu di daerah Timur itu. Saya menunggu suratmu di sana,” begitu kata Bento seraya mencoba menyentuh jas yang dipakai Beergo. Ia bersikap seolah-olah tak sengaja, padahal ia ingin saja merasakan kelembutan wol yang mahal itu.
       Bento pernah sekota dengan lelaki perlente itu. Ayah Beergo seorang yang tinggi dengan hidung mancung dan kulit kemerah-merahan berbintik-bintik kecil. Beda benar dengan ibu Beergo yang berkulit putih bersih dan wajahnya sangat agung sebagai ratu, meskipun ibu Beergo tingginya juga sebagai ‘raksasa’.
       Mereka bermain sejak kecil. Bento ingat, ia pernah dibanting oleh Beergo karena menyembunyikan mainan Beergo yang bisa jalan sendiri bagai manusia. Ia tak punya niat lain dengan usia yang kanak-kanak begitu, ia hanya tertarik untuk ikut memiliki mainan luar biasa itu dan kemudian menyembunyikannya. Beergo mengetahui, dan itulah! Tulang punggung Bento hampir patah. Ia tak tahu bagaimana Beergo memitingnya dan melemparkan tubuhnya ke lantai di halaman gedung mewah milik ayah Beergo. Tapi tak ada yang berani keberatan dengan hal itu. Dan bagaimana  biasanya kanak-kanak, esoknya atau lusanya, mereka bercengkerama kembali dengan ceracau yang polos.
       Usia Bento dan Beergo mencapai dua-puluhan ketika ayah Beergo pindah ke ibukota republik. Keluarga itu tak ada kabarnya lagi, seperti hilang ditelan kobaran semangat perjuangan yang begitu panas saat itu. Hingga hampir dua-puluh tahun setelah perpisahan itu, Bento berjumpa dengan Beergo secara kebetulan di ibukota republik itu.
        Setelah ia kembali ke kota kelahirannya di Timur, memang ia mendapat surat Beergo yang berada kembali di negeri leluhurnya. Bento begitu gembira. Dan pada surat balasannya ia menuliskan kemajuan-kemajuan yang berhasil dicapai negerinya. Ia juga menuliskan bagaimana ia berhasil menyunting seorang gadis yang sangat manis. “Luar biasa, Beer!” begitu komentarnya sendiri dalam surat kepada Mr. Beergo. “Dia mirip ibumu meski tidak mungkin seagung beliau. Saya tak pernah bermimpi akan dapat menyunting gadis secantik istriku sekarang ini.” Beergo membalas surat itu, “Jangan cepat berbangga, yang cantik belum tentu baik hatinya, Ben!” Dan Bento terkekeh-kekeh membaca kalimat itu. Beberapa tahun setelah ia membaca kalimat itu, istrinya yang begitu aduhai cantik dan montok, meninggalkan rumahnya yang sempit dan sumpek, pergi bagai seekor  di belakang seorang hartawan yang gendut bagai kodok. Bento kemudian cuma bisa menekuri nasibnya sambil sesekali cengar-cengir seorang diri.
         Surat Mr. Beergo tetap mengalir sementara nasib Bento semakin tersengal-sengal, tetapi ia tetap menyisakan sisa gajinya yang kecil untuk membalas surat pada Beergo. Untung istrinya dahulu membawa pergi dua orang anaknya perempuan yang masih kecil-kecil. Entah kenapa hartawan itu sudi mengambil dua anak lagi. Bento berprasangka yang bukan-bukan tentang hartawan itu andai kedua anaknya telah menjadi gadis yang cantik dan semampai atau montok seperti ibunya. Keresahannya dialihkan pada surat buat Mr. Beergo. Ia bercerita tentang kemajuan kota mereka masing-masing. Ketika Beergo mengejek dengan suratnya, “Bagaimana pemalas, Ben. Itulah sebabnya tidak memiliki kekuatan ekonomi pribumi. Mereka cepat senang dengan keadaan yang sedikit enak. Dan kalau kemudian tiba-tiba jatuh kembali, mereka akan meraung-raung menyalahkan siapa saja….,” --- Bento kontan merasa wajib membela negeri adil-makmur aman-sentosa. Dengan berapi-api menguraikan kemajuan-kemajuan negerinya secara mendetail. Kotanya katanya, telah berubah.  Andai Beergo kembali ia pasti pangling dengan kota di mana mereka dahulu pernah melempari buah asam di belakang gedung kantor Gubernur. Kemajuan di mana-mana, begitu ia mempropaganda. Gedung-gedung megah, kemajuan berpikir, pejabat-pejabat yang memperhatikan kebutuhan rakyat, persatuan yang begitu kuat, saling hormat  di antara setiap warganegara dan agama, dan berjuta propaganda lainnya dilontarkan Bento tanpa tanggung-tanggung. Begitu menariknya cara Bento bertutur dalam surat sehingga Beergo cepat-cepat membalas, “Saya ingin cepat berada kembali di negerimu. Saya akan berkunjung ke kota kita di Timur. Ah, begitu gembiranya mendengar berita itu. Saya hanya mendengar berita-berita negerimu lewat radio bbc-London dan surat kabar. Saya akan berusaha mengunjungimu kapan-kapan saya dapat!”
        Dan Beergo membuktikan omongannya ketika suratnya muncul di rumah Bento. “Saya akan tiba tanggal 16 bulan depan di ibukota republikmu. Jemput saya di lapangan terbang kotamu esok harinya.”
        Maka hari ini Bento sedang menunggu kedatangan Beergo. Ia berdiri dan duduk berganti-ganti dalam ruangan tunggu yang panas bagai bara. Sedangkan kegelisahan Bento membuat lebih gatal lagi hatinya.
         Ia telah meminjam sebuah mobil dari bekas sahabatnya dulu yang kini menjadi majikan. Murah hati benar teman itu meminjamkannya tanpa membebani Bento dengan biaya, sepeser pun. Demi persahabatan, begitu gumam Bento sendiri mencoba menerka kebaikan temannya.
        Bayangan itu cepat berganti dengan wajah Beergo. Entah bagaimana perlentenya lelaki itu sekarang pada usianya yang hampir enam-puluhan seperti Bento sendiri. Tentu rambutnya sudah lebih dulu ubanan, pikir Bento. Orang Barat selalu menggunakan pikirannya untuk hal-hal yang sangat berat. Tapi Beergo pasti masih gagah seperti masa mudanya. Bento membayangkan wajah Beergo yang bahkan lebih matang daripada wajahnya yang dulu-dulu. Semakin simpatik, kata Bento pelan. Beda benar dengan wajah bangsa ini, semakin tua semakin sayu, atau paling tidak semakin tampak kemunafikannya.
       Mengingat wajah Beergo semakin dalam, tiba-tiba Bento merasa tertodong. Ia merasa bahwa Beergo datang untuk minta bukti dari penjelasan dan propagandanya. Bukan apa-apa. Ia akan menjadi sangat malu berhadapan dengan Beergo nanti.
        Orang-orang berseliweran dalam ruang tunggu itu, sebagian berwajah berwibawa, atau paling tidak sengaja dibuat-buat agar mirip ke situ. Sebagian lagi berwajah seperti wajah Bento, kampungan barangkali. Banyak ibu-ibu merasa dirinya cantik dalam kebaya yang suram atau sekalian terang benderang. Suara dari loud-speaker yang menyebut-nyebut pesawat-pesawat yang tiba terdengar begitu lembut bagi Bento. Tapi ia hampir saja jatuh tidur karenanya.
        Hati Bento berdebar-debar kencang. Saatnya kebohongannya harus diungkapkannya di depan Beergo. Tentu Beergo jauh berada di dunia yang berlawanan sekarang. Sangat modern dan aristokratis. Jangan-jangan ia akan menolak berjabat tangan dengan Bento. Apalagi kalau ia tahu bahwa Bento telah membohonginya. Beergo capek-capek datang ke kota ini karena propaganda-propaganda Bento yang manis.
       Bento bisa membayangkan, Beergo akan mengerutkan kening melihat jalan utama di kota ternyata tidak lebih daripada ombak. Jalan yang diperbaiki setiap tahun dari anggaran pemerintah dan hasilnya bergelombang. Siapapun yang jalan akan merasa berada di atas lautan. Tentu saja Bento tidak akan menjelaskan bahwa yang menjadi kontraktor ini itu adalah para keluarga sang Gubernur. Ya, tiba-tiba saja seluruh keluarga Gubernur yang baru menjabat, menjadi kontraktor-kontraktor besar dan pengusaha-pengusaha agung. Tapi tidak ada yang akan menuntut melihat jalan-jalan tertentu dibiarkan rusak dan binasa selama bertahun-tahun ini. Kalau pun ada yang mencoba, tentu tidak akan diperdulikan. Siapa berani bertatap muka dengan Sang Gubernur? Bento? Ooooooo?! Beergo akan tersenyum sangat sinis. Belum lagi kalau pertanyaannya yang keras membuat Bento berdenyut. “Ini pembangunan yang kau maksudkan, Ben?”
        Apalagi kalau Beergo tahu (Bento sekali sakit hati mengenang peristiwa ini) --- Bento pernah ditinjau oleh seorang pejabat penting dari atas mobil hardtop karena pagi-pagi itu Bento merasa pantas untuk menyeberang jalan lebih dulu sedangkan sang pejabat merasa tak pantas untuk dipotong jalannya yang begitu berharga. Pukulan pejabat itu tidak sakit. Yang sakit adalah di hati Bento. Ia bertanya, kemanakah janji-janji pejabat yang katanya selalu memperhatikan masyarakatnya? Beh, Bento mau muntah. Kalau saja Beergo tahu semuanya, Bento bisa menangisi dirinya sendiri yang malang. Betapa selama ini ia telah berusaha menyembunyikan kebusukan-kebusukan yang menyebar di kotanya.
        Seniman-seniman muncul di televisi membawakan puisi dengan slogan-slogan. Sikap mereka dibuat seurakan mungkin. Seolah-olah hendak berkata: “Inilah aku, seniman!” Beergo akan tertawa geli dan  terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya. Matanya akan berair karena tak tahan lagi, “Inikah bangsamu, Bento? Inikah? Betapa mereka masih masih begitu memuja diri sendiri. Ha ha ha …” Beergo akan meneruskan tawanya tanpa mengetahui bahwa Bento dan hatinya menangis demikian menyayat. Pemuda-pemuda yang menyebut dirinya mahasiswa dari perguruan tinggi negeri merasa dirinya sudah terkenal. Omong kosong! Mulut mereka saja yang besar, Bento mengakui dalam hati. Mereka pinter mengadakan aksi anu dan aksi anu sementara tanggungjawab tentang program pendidikan mereka merasa lebih hebat daripada Menteri.
        Beergo pasti akan menanyakan gudang tempat mereka biasa main-main polisi-polisian. Tempat itu sekarang dijadikan “gudang” penyimpanan gundik oleh pejabat teras walikota. Dan para pejabat tingkat menengah yang datang dari kota lain untuk meninjau, selalu minta menginap di hotel-hotel yang tersedia tubuh-tubuh hangat berdada kenyal.
        Beergo akan mengatakan, pasti, bahwa bangsanya Bento dengan arti sempit: Sebagian pejabat --- telah berusaha membangun semaksimal mungkin … di atas tempat tidur. Ha ha ha ha ha! Bento seolah-olah mendengar lagi tawa Beergo.
        Barangkali paling enak jadi tukang becak. Polisi lalu-lintas takut membunyikan sempritan meskipun rambu larangan yang dilanggar berada di atas kepalanya, karena mereka tahu tukang becak tidak akan sanggup membayar mahal. Atau juga wartawan. Wartawan bukan main piciknya. Sebagian siap menulis atau membatalkan tulisan jika ke hadapannya disodorkan amplop!
        Bento meludah di lantai dengan perasaan jijik dan malu.
        Orang-orang menoleh seketika. Dan memandang dengan macam-macam perasaan. Sedangkan perasaan Bento lebih bermacam-macam lagi, hanya karena wajah Beergo yang tersenyum-senyum sinis terus memburu dan menggoda ketenangannya.
        Beergo tahu kebohongannya, Bento tertangkap basah! Ia merasa telah melakukan kesalahan paling besar selama hidupnya. Ia seolah-olah mewakili suatu bangsa dalam menunjukkan sikap dan sifat. Bento merasa berdosa telah mencoreng nama harum bangsanya. Meski demikian ia mencoba bertanya pada hatinya sendiri, siapakah yang bersalah? Ia hanya mencoba membela nama bangsanya meski untuk itu ia harus berbohong dengan sedikit rasa malu. Ia tiba pada pertanyaan terakhir yang ia tak tahu siapa harus menjawabnya: “Siapa yang membuat kebusukan-kebusukan itu sehingga ia terpaksa menciptakan kebohongan yang paling besar itu?”
        Ada sedikit keramaian dari arah depan di mana Bento berdiri. Bento memandang dengan mata membelalak. Rambutnya tiba-tiba memutih semua, bukan kelabu saja. Begitu pula sedikit rambut-rambut kecil di atas bibirnya yang keriput dan di bagian pipinya menurun ke dagu. Wajahnya menjadi tua dengan sangat tiba-tiba. Ia menuding hatinya dengan tuntutan-tuntutan tajam.
       Bento berdiri gemetar. Seluruh tubuhnya bergetar keras. Ia melihat lekat-lekat jajaran penumpang yang baru turun dari pesawat yang datang dari ibukota. Didapatinya wajah Beergo dari antara kumpulan tersebut, tepat ketika Beergo juga mendapati wajahnya. Dan Beergo melambaikan tangan walau sedikit ragu.
        Butir-butir keringat sebesar biji kelor berhamburan di sekujur tubuh Bento yang kian menggigil. Wajahnya menegang. Seribu perasaan berkecamuk menciptakan perang dalam batinnya. Dan ketika rasa malu yang menang, Bento menghambur keluar meninggalkan ruang tunggu itu dalam gerak yang tidak pantas dilakukan usianya yang tua.
       Ia tidak mempedulikan seruan-seruan Beergo yang memanggil-manggil dalam nada keheran-heranan. Ia tidak mempedulikan caci-maki orang-orang yang diterjangnya di depan pintu. Seorang gadis manis terjungkal dengan paha yang mengangkang menghadap ke atas. Bento tak peduli!
       Ia terus berlari. Dan berlari. Ia kecewa pada Beergo, kecewa pada segelintir orang yang mengaku sebangsa, dan kecewa pada dirinya yang tak berdaya.
        Di pelataran parkir Pelabuhan Udara itu, Bento menyuruh sahabatnya yang menjadi sopir tadi memacu kencang-kencang mobilnya. Sang sahabat heran, tapi ia menurut saja. Orang yang berada di sampingnya adalah sahabat sang majikan. Harus dituruti dengan baik, begitu pendapatnya. Lalu menguasai jalanan bagai setan yang gila!
        Bento tak merasa lagi. Ia tahu bahwa ia telah tiba di rumahnya yang pengap. Ia tak menghitung waktu lagi. Ia tak mau berpikir yang tak penting begitu. Dengan napas terengah-engah ia masuk ke kamarnya yang berbau apek.
          Diambilnya seutas tali yang kuat dan liat. Ia merasa pasti dan yakin. Sebentar lagi Beergo akan tiba di rumahnya. Beergo tahu alamatnya. Dan Bento tergesa-gesa membulatkan niatnya. Ia memanjat ke sebuah tiang yang melintang.
        Tak lama lagi rasa malu yang menghantui hatinya akan hilang seluruhnya. Saat itu orang akan menemukan tubuhnya tergantung dan bergoyang-goyang dengan lidah yang terjulur.


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Jhoy Coles Arts | Bloggerized by Pk IMM Uhamka - Fakultas Agama Islam | thanks to Allah